Minggu, 31 Mei 2009

Dunia Kerja

Mitos Seputar Tes Wawancara Kerja

Guntar - Empat Mitos Seputar Tes Wawancara Kerja

Salah satu sebab mengapa banyak orang gagal menjalani tes wawancara adalah karena beberapa salah paham terkait apa yang benar-benar terjadi pada saat tes wawancara dilangsungkan. Saya menyebutnya sebagai mitos tes wawancara.

Setiap kita udah tau bahwa tujuan dari tes wawancara adalah untuk mencari orang2 terbaik untuk pekerjaan yg ditawarkan, tapi masih banyak yang belum paham tentang apa-apa yang membuat seorang kandidat bisa unggul ketimbang yg lain.




Mitos Pertama: Orang dg kompetensi terbaik lah yang akan dapet kerjaannya.

Kadang emang betul, khususnya pada situasi di mana masing2 sudah sama tau, semisal perusahaan yang melakukan reruitmen internal. Namun seringkali bukan seperti itu yang terjadi. Lolosnya seseorang dalam tes wawancara kan dipengaruhi oleh banyak hal. Semisal saja si pewawancara tau betul pertanyaan apa saja yang perlu ditanyakan serta bagaimana mengetahui tingkat kejujuran dari jawaban yang diberikan. Dua hal ini terkesan remeh, tapi nyatanya banyak pewawancara yang ndak pernah ikut training ttg job interview dan kurangn berpengalaman mewawancara, atau sekedar ndak punya waktu untuk menyiapkan bahan wawancara. Belum lagi ketika si pewawancara sedang bad mood.

Di dunia yang ideal, maka orang dg kompetensi terbaik lah yang akan jadi pemenang. Tapi nyatanya, seringkali mereka yang jago di tes wawancara lah yang jadi pemenang. Pembelajaran penting di sini adalah ketika pada saat wawancara Anda ketahui di sana ada orang yang Anda tau secara kompetensi & wawasan lebih jagoan ketimbang Anda, maka jangan keburu minder. Perangnya lho belum dimulai. Sebaliknya, jika Anda merasa sebagai kandidat paling jagoan di antara yang lain, maka jangan juga keburu mayak hingga meremehkan tes wawancara.

Orang dengan kompetensi terbaik tidak lantas jadi pemenang - seringkali mereka yang performa tes wawancara nya bagus lah yang jadi pemenang.

Mitos Kedua: Yang penting tu bisa jawab pertanyaan - dan juga kasih jawaban panjang biar terkesan pintar.

Memang tes wawancara kerja ada kemiripan dengan ujian sekolah dalam perihal sama2 ada pertanyaan yang kudu dijawab dengan benar. Tapi beda dengan ujian kuliah, tes wawancara juga mementingkan aspek interaksi dan komunikasi empatik sembari Anda mengemukakan jawaban2 pintar. Yg penting tu bukanlah jawaban panjang lebar. Orang dg skil dan pengetahuan itu banyak, tapi ndak banyak yg mampu mengartikulasikan gagasan mereka secara ringkas, nyambung, dan mudah dipahami.

Ada kemudian yg beranggapan kalo bisa jawab pertanyaan dg lebih baik ketimbang yg lain, maka dia lah yg menang. Tapi -Anda tahu lah- interview tu lebih dari sekedar ngasih jawaban pintar. Bahkan interview tu lebih dari sekedar berpenampilan rapi dan menawan. Anda juga perlu meyakinkan pewawancara bahwa Anda adalah orang yg menyenangkan untuk kerja sama. Anda perlu tunjukkan bahwa Anda adalah orang yg komunikatif dan bisa dipercaya.

Yg penting bukan banyak bicara. Konsekuensinya, malahan keharusan untuk ajukan pertanyaan di akhir sesi juga merupakan mitos. Ada anggapan bahwa hal tsb bisa menunjukkan bahwa si pelamar demikian tertarik dan juga pintar. Hal ini tidak benar. Ajukan pertanyaan sekedar karena formalitas tidak akan membantu Anda dapatkan pekerjaan - apalagi bila yang Anda tanyakan adalah hal2 yg sebenarnya sudah dibahas dg jelas pada sesi wawancara.

Tips Negosiasi Gaji pada Tes Wawancara Kerja

OK, meskipun tips terkait cara menjawab pertanyaan interview belum usai, tapi saya rasa issue terkait bagaimana menegosiasi gaji pada tes wawacara kerja juga tak kalah penting untuk dibahas. Nah, aturan umum menegosiasi gaji seperti gini: Jangan bicarakan gaji sampai kemudian Anda sudah mendapat kejelasan bahwa Anda-lah kandidat yg diharapkan (atau merupakan salah satu dari sedikit yg terpilih). Namun, memang sih aturan kayak gitu susah juga untuk dipatuhi. Upaya2 menghindar dari pertanyaan malah bisa-bisa berubah menjadi otot2an - yg tentu tidak Anda inginkan.

tips negosiasi gaji interview Tips Negosiasi Gaji pada Tes Wawancara Kerja

Idealnya memang, pembicaraan terkait gaji baru bisa dilakukan jika pelamar kerja sudah tahu betul dia mau ditempatkan di posisi mana, dan apa saja tanggungjawabnya. Tapi sialnya, tak jarang employer merasa perlu menghemat waktu mereka dg melakukan penyaringan sejak dini.

Anda tentunya menginginkan gaji yg lebih besar ketimbang yg sudah Anda terima sekarang, itu udah jelas. Untuk itu, ketika ditanya tentang riwayat gaji, sebaiknya Anda benar-benar sudah tahu berapakah yg sebetulnya Anda sudah dapatkan sekarang. Saya pertegas lagi: Pastikan Anda tahu berapa banyak sih sebenarnya benefit yg Anda peroleh. Beneran, banyak orang yg ndak tau lho. Meskipun semua orang bisa nyebutkan dia dapat berapa per bulannya, tapi banyak yg lupa memperhitungkan penghasilan tahunan, termasuk juga kompensasi non-gaji seperti tunjangan kesehatan, bonus, bagi hasil, dana pensiun, training pengembangan diri, dan yg lainnya. Padahal hal2 seperti itu aja sudah bisa nambah sampe 25 persen atau lebih dari gaji pokok Anda.

Pertanyaan terkait gaji ini memang terkesan seperti sebuah perangkap. Anda tentu ndak berharap permintaan gaji Anda dianggap terlalu tinggi atau terlalu rendah. Klo terlalu tinggi, kredibilitas Anda bisa rusak, kerja keras Anda sampai dg wawancara bisa dimentahkan. Sementara klo terlalu rendah, bukan cuma maksud untuk tingkatkan standar hidup terbatalkan, itu malah bisa jadi cerminan kurangnya rasa percaya diri, rendahnya self esteem dan ketidakmampuan untuk menilai harga kompetensi diri.

Nah, lantas gimana? Seperti yg saya sampaikan di awal, jangan berikan jawaban gamblang di awal. Anda harus membuat pelamar kerja melihat dulu performa Anda melalui tes wawancara, sehingga dia bisa melihat kelayakan “harga” Anda. Tujuannya adalah agar Anda bisa mengambil waktu sebanyak mungkin untuk membuat kesan sebaik yg Anda bisa berikan sebelum pembicaraan tentang gaji dimulai. Ini ndak ada beda dg salesperson yg sedang berusaha menjual produknya. Harga baru biasanya akan disebut ketika seluruh fitur dan benefit dari produk telah tuntas dibicarakan. Membicarakan harga sebelum fitur dan benefit diungkap bukanlah cara menjual yg bagus. Sama, itu juga bukan cara menegosiasi gaji yg bagus. Anda harus presentasikan dulu keahlian dan wawasan Anda, serta bagaimana Anda bisa menguntungkan perusahaan sebelum bicarakan tentang gaji.

Setahu saya ndak ada kok kasus di mana pelamar kerja ditolak gara2 dia belum menyebutkan dg jelas berapa gaji yg dia minta di surat lamaran. Yg biasanya ada tu kasus pelamar ditolak gara2 sejak awal dia udah nyebutin permintaan gaji yg ndak cocok buat pemberi kerja.

Meskipun begitu, memang bisa jadi Anda akan menemui skenario ndak ideal. Ini adl kondisi di mana Anda sudah ditanya berapa gaji yg diminta sejak awal interview, sebelum Anda sempat meyakinkan pewawancara bhw Anda lah kandidat terbaik, atau sebelum Anda punya gambaran terkait tanggung jawab yg akan diemban di posisi yg Anda incar.

Nah, dalam skenario situasi semacam ini, hal terbaik yg bisa Anda lakukan adl memberikan respon pengalih pembicaraan untuk mengulur waktu. Mengapa? Sekali lagi, supaya Anda bisa mencari info terkait posisi yg Anda incar, dan supaya Anda miliki lebih banyak waktu utk menjual terlebih dahulu pengalaman dan kapabilitas Anda.

Dunia Pendidikan


Ilmu Teknologi Pendidikan

Pendidikan Network memang sangat mendukung perkembangan teknologi di bidang pendidikan tetapi juga wajib untuk monitor perkembangan teknologi dan cara melaksanakan dari sisi keuntungan dan kemajuan mutu pendidikan secara rialistik dan holistik. Apakah retorika mengenai peran dan pentingnya teknologi pendidikan dalam kegiatan belajar / mengajar sesuai dengan kenyataan dan keadaan di Indonesia.
Kalau membaca berita mengenai isu-isu di surat kabar:
Puluhan ribu sekolah dalam keadaan rusak atau ambruk termasuk 70% sekolah di DKI Jakarta, 30.000 Desa Belum Teraliri Listrik, dan 55 juta orang tidak memiliki "akses" terhadap sumber air yang aman (Tiap Hari 5.000 Balita Mati karena Diare) dan Korupsi Terjadi di Semua Level Penyelenggara Pendidikan, dan UN Tidak Ciptakan Proses Belajar Kreatif, dan kita perlu Setop Kurikulum Merugikan Siswa, juga 70% Lulusan SMA Tanpa Keterampilan Cari Kerja, dan Kemampuan Guru Harus Ditingkatkan, dan Ribuan Anak Cacat Usia Sekolah Belum Terlayani, dan Pendidikan Berkualitas Hanya untuk Orang Berduit, dan .........

Jelas, kalau kita ingin membuat program untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia kita harus memastikan bahwa strategi-strategi yang direncanakan menghadapi segala macam hal, dan yang di utamakan adalah kebutuhan dasar untuk mengajar dan situasi yang nyaman dan aman di semua sekolah (termasuk listrik/air).


Revitatalisasi Pendidikan Kemanusiaan

Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.

Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Dalam konteks yang demikian itu, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hipokrit, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi, dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara, KKN, misalnya, justru sering melibatkan orang-orang berdasi yang secara formal berpendidikan tinggi. Ini artinya, secara implisit, model pendidikan kita selama ini setidaknya telah memiliki andil terhadap merajalelanya ulah KKN yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara di dunia yang cukup tinggi tingkat korupsinya.

Sementara itu, model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak ketimbang emosi dinilai juga telah menimbulkan masalah tersendiri di lapisan masyarakat akar-rumput. Pendidikan dasar dan menengah yang idealnya mampu menjadi basis penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur baku dan hakiki kepada siswa didik, menjadi sangat tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan kondisi lokal.

Bobot kurikulum yang telah dikemas secara monolitis dan sentralistis telah menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal tidak bisa berkembang. Para peserta didik “dipaksa” menerima cekokan materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dengan pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan ruang berkreasi, kemerdekaan berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru terjebak dalam atmosfer pendidikan yang kaku, membosankan, dan tanpa gairah. Suasana pendidikan yang kurang kondusif semacam itu jelas mengingkari makna dan hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berpikir dan berjiwa merdeka, bebas dari tekanan dan paksaan.

Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.

Atmosfer pendidikan yang kurang kondusif semacam itu diperparah dengan situasi lingkungan yang serba permisif, apatis, dan masa bodoh. Pada sisi yang lain, institusi keluarga yang mestinya menjadi penanam nilai-nilai religi, kultural, dan kemanusiaan, dinilai juga telah tereduksi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memburu standar hidup dan gebyar materi. Persoalan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal.

Beranjak dari konteks ini, memang tidak berlebihan kalau ada yang menilai bahwa maraknya konflik horisontal di berbagai penjuru tanah air seperti yang pernah, bahkan sering kita saksikan, salah satu penyebabnya ialah gagalnya institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak generasi yang utuh lahir dan batin. Dunia pendidikan dinilai hanya sarat muatan kognitif, teoretis, dan penalaran, tanpa menyentuh aspek-aspek humaniora. Persoalan-persoalan moral dan budi pekerti menjadi luput dari perhatian. Lahan pendidikan humaniora dipersempit, bahkan dikepras, sedangkan muatan materi yang mengedepankan akal dan penalaran diberi bobot terlalu berlebihan.

Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang dalam menguak tabir politik, ekonomi, dan hukum, sudah tiba saatnya untuk mengurai simpul dasar yang memasung tubuh pendidikan kita. Setidaknya, harus ada “kemauan politik” untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif.

Pengalaman selama bertahun-tahun telah memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, tetapi kehilangan hati nurani dan perasaan. Ini artinya, revitalisasi pendidikan kemanusiaan semakin urgen dan relevan untuk diimplementasikan di tingkat praksis agar tidak terapung-apung dalam bentangan slogan, retorika, dan jargon belaka.

Sungguh terasa ironis kalau bangsa kita yang selama ini dokenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi, mengagungkan keluhuran budi, dan kesantunan berperilaku, akhirnya terjebak menjadi bangsa bar-bar, “kanibal”, dan pendendam, hanya lantaran pendidikan yang salah urus. Agaknya, sudah sangat mendesak dunia pendidikan kita disentuh oleh hal-hal yang bersifat humanistis dan religius.


Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62

Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).Mau tidak mau, itu mengilustrasikan bahwa kualitas pendidikan kita pun semakin dipertanyakan. Sebab, tingkat pendidikan Indonesia kian melorot. Alih-alih akan mencerdaskan kehidupan bangsa, itu hanya sebuah utopia. Lalu siapa yang harus disalahkan? Kita harus banyak introspeksi. Saya juga tidak bisa menyalahkan pemerintah seratus persen, kendati pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas malapetaka tersebut.Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengapa kualitas pendidikan kita bernasib sedemikian tragis. Pertama, kondisi pemerintah yang sangat kental politis punya peran penting serta signifikan untuk memperkeruh keadaan. Tatkala keadaan pemerintah berpolitis, itu akan menyebabkan atmosfer pendidikan labil, sebut saja dalam hal kebijakan pendidikan yang dilahirkan pemerintah. Sebab, gerbong pemerintah ditarik dua kekuatan besar tak terlihat (invisibile big power) dengan kepentingan politik berbeda saat menentukan sebuah keputusan politik pendidikan tertentu. Diakui atau tidak, itu realitas politik di depan hidung kita semua. Karena itu, wajar pendidikan selalu berada dalam rangkulan kepentingan politik tertentu. Aroma “politik pendidikan penguasa” sangat lekat dalam dunia pendidikan. Untuk melepaskan hal tersebut, ibarat panggang jauh dari api. Kedua, kondisi keuangan negara yang sangat sedikit bisa memperburuk dunia pendidikan. Sebab, minimnya dana akan menghambat pembangunan pendidikan dalam segala hal, baik infrastruktur maupun suprastruktur. Miskinnya dana dalam dunia pendidikan akan membuat bangunan-bangunan sekolah dan fasilitas pendidikan lain tidak bisa digarap dengan sedemikian maksimal serta optimal. Dengan demikian, kondisi ironis itu pun sangat muskil akan menyegerakan tercapainya pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata. Justru, yang terjadi adalah kemiskinan pendidikan yang mengglobal di ibu pertiwi ini akan membumi. Akibatnya, rakyat tetap buta huruf dan begitu seterusnya. Jangan harap pula, kita bisa menjadi bangsa maju. Yang pasti, tidak adanya anggaran cukup dan besar dari pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sangat memicu gagalnya pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, termasuk dalam agenda Millineum Development Goals (MDGs); cerdas, pintar, terampil, dan seterusnya. Ketiga, kondisi kota maupun kabupaten dengan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas sangat memberikan efek buruk bagi mandeknya pembangunan pendidikan. Sebab, adanya SDM menjadi kata kunci bagi keberhasilan sekian banyak agenda pendidikan di daerah. Logikanya adalah bagaimana kota dan kabupaten akan bisa melakukan pembangunan pendidikan, sementara para pejabat dan aparat terkait di daerah tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu dalam bidang yang diembannya. Roda pembangunan pendidikan yang bisa berjalan dinamis dan konstruktif menjadi bentuk untuk menjawab tamparan keras UNESCO terhadap pendidikan Indonesia. Pertama, kepemimpinan yang kuat sangat diharapkan bisa diwujudkan secara praksis dan konkret. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai nakhoda kapal Indonesia harus tegas dalam mengambil sebuah kebijakan politik pendidikan. Jangan mau diintervensi pihak-pihak tertentu yang coba menggodanya. Etos kerja tinggi, komitmen politik, dan tanggung jawab politik sebagai pengemban amanat rakyat untuk memajukan dunia pendidikan sangat dibutuhkan secara nyata. Kedua, tata kelola pemerintahan yang baik harus bisa dijalankan secara sinergis dan komplementer. “The right man on the right place” menjadi pintu utama untuk menyukseskan program pendidikan yang mencerdaskan. Kerja sama politik yang baik di banyak elite lapis diperlukan secara praksis. Ketiga, partisipasi semua pihak juga wajib hadir dalam konteks mendukung program-program pendidikan yang mencerdaskan. Semua lapisan masyarakat ditagih untuk ikut aktif dalam pengembangan dan pemajuan dunia pendidikan. Keempat, memunculkan sikap sadar terhadap persoalan-persoalan pendidikan harus pula dilakukan semua lapisan masyarakat. Sebab, pendidikan itu bukan hanya milik segelintir orang an sich, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.


Hardiknas dan Mitos Matinya Pendidikan

Ujian Nasional tahun pemelajaran 2007/2008 tingkat SMA/MA/SMK dan yang sederajat telah dilaksanakan serentak pada tanggal 22-24 April 2008 kemarin. Berbagai kecurangan selama pelaksanaan kembali ditemukan, mulai dari dugaan bocornya kunci jawaban yang beredar melalui pesan singkat (short message service/SMS), pelanggaran POS UN oleh panitia, hingga kecurangan yang dilakukan oknum kepala sekolah dan guru yang dengan sengaja memperbaiki jawaban peserta, sebelum LJK disetor ke dinas pendidikan.

Temuan kecurangan ini merupakan aib sekaligus dosa dunia pendidikan di Indonesia yang selalu terulang. Dosa yang sebenarnya tidak perlu terjadi tatkala seluruh stokholder pendidikan memahami hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Ironisnya, berbagai bentuk kecurangan ini justru kembali ditemukan di saat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dipercaya sebagai lembaga penjamin mutu pendidikan tengah gencar dan serius memerangi kecurangan pelaksanaan UN. Upaya BSNP yang mengetatkan pengawasan dengan melibatkan tim pemantau independen ternyata tak berpengaruh. Pertahanan (baca: pengawasan) berlapis yang diupayakan ternyata dapat dijebol. Tentu saja kita tidak bisa menuduh atau menjatuhkan seluruh kesalahan ini pada BSNP.

Mengingat lembaga baru ini ternyata juga mendapatkan hambatan di lapangan. Bukan hanya dalam masalah SDM yang sangat minim, jauh berat dari itu BSNP harus menghadapi gurita raksasa yang bernama kompromi untuk melakukan dosa berjamaah yang dilakukan oknum guru, penyelenggara pendididikan dan peserta didik. Dalam hemat saya, bentuk kompromi semacam ini tidak saja melahirkan aib dan dosa besar dunia pendidikan, namun lebih dari itu kompromi ini dengan sendirinya membunuh (mematikan) hakekat pendidikan.

Jika dibiarkan kompromi ini akan jadi bahaya laten yang terus mengancam kredibilitas pendidikan kita. Gilirannya kemudian mengancam kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia. Bukankah saat ini pendidikan di Indonesia masih berada pada rangking bawah, bahkan diantara negera-negera anggota Asean. Laporan UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan yang dirilis November 2007 menyebutkan bahwa, peringkat pendidikan di Indonesia turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di dunia. Dilaporkan, indeks pembangunan pendidikan atau Education development index (EDI) Indonesia adalah 0,935, di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965). Dalam versi yang berbeda disebutkan bahwa bahwa kualitas pendidikan kita berada di urutan ke-129 dunia.
Mitos Bangsa Indonesia terlanjur menetapkan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional (hardiknas) yang selalu diperingati sebagai tanggal (momentum) titik tumpu kebangkitan dunia pendidikan di Indonesia. Tanggal 2 Mei merupakan moment bersejarah bagi dunia pendidikan di Indonesia, sebab pada tanggal yang sama (2 Mei 1889) di Yogyakarta lahir intelektual muda pendiri perguruan (sekolah) Taman Siswa yaitu Ki Hajar Dewantara. Nama aslinya penggagaas landasan filosofi pendidikan nasional ini adalah adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Tiga pilar kokoh dan landasan filosofi pendidikan yang ia cetuskan yaitu; Ing Ngarso Sun Thulodho, Ing Madyo Mangun karsa, dan Tut wuri Handayani. Ki Hajar Dewantara meninggal di Yogyakarta, pada 28 April 1959.

Selain diperingati dengan acara seremonial seperti upacara bendera, momentum Hardiknas juga diisi dengan kegiatan diskusi serta refleksi dunia pendidikan kita. Beragam hujatan baik dalam bentuk diskursus maupun liputan khusus dan berita tentang terpuruknya dunia pendidikan selalu menghiasi halaman media cetak. Saya yakin ini bukan kebetulan, lantara pada kenyataanya dunia pendidikan kita memang terpuruk. Yang menarik adalah tatkala momentum Hardiknas di Indonesia dikatikan dengan momentum meninggalnya seorang filosofis pendidikan terkemuka dunia, Paulo Freire (1912-1997). Filosof pendidikan yang terkenal dengan konsep pendidikan pembebasan ini meninggal dunia pada 2 Mei 1997, atau bertepatan dengan momen Hardiknas di Indonesia.

Dalam hemat saya, ini menjadi menarik lantaran dua momen berbeda tersebut, jika kita hubungkan seperti memiliki pertalian erat. Tanggal 2 Mei selalu kita peringati sebagai Hardiknas yaitu moment kebangkitan dunia pendidikan di Indonesia, di sisi lain tanggal yang sama juga selalu dikenang sebagai hari meninggalnya filosof revolusioner tersebut.

Dalam konteks dunia pendidikan kita, meski angka tahun dua peristiwa besar itu terpaut sangat jauh (hampir setengah abad lebih), namun realitas pendidikan di Indonesia yang selalu direfleksikan tiap peringatan Hardiknas, justru melahirkan mitos. Relasi Hardiknas dengan meninggalnya Paulo Freire menciptakan mitos, seolah meninggalnya filosof besar tersebut mencitrakan kematian dunai pendidikan kita. Benar atau tidaknya mitos ini sangat tergantung pada bagaimana cara pandang kita atas relasi antara kebenaran (realitas) yang terjadi saat ini dengan cerita atau anggapan yang kita pikirkan.

Lantaran menurut Umar Yunus (1981) Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Sehingga ia kerap dijumpai dalam masyarakat, setidaknya mitos selalu hidup dalam gosip, dan boleh jadi (akan) dibuktikan dalam kenyataan. Benar ungkapan dan anggapan Yunus, bahwa kita hidup dalam mitos, yang selalu berubah dari satu mitos ke mitos yang lain. Paulo Freire Pertanyaannya adalah, kenapa harus Paulo Freire yang menggagas konsep pendidikan pembebasan?

Dari konsep-konsep pendidikan yang dituangkan dalam bukunya, Freire terbukti konsisten dengan gagasan pendidikan pembebasan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa pendidikan harus membebaskan, dan tidak memaksakan. Arah politik pendidikan yang sangat kentara berpihak pada kaun tertindas inilah yang mendasari anggapan bahwa konsep pendidikan Freire cocok diterapkan di Indonesia. Meski konsep pendidikannya sangat jelas dan matang, namun Freire justru mengakui bahwa konsep pendidikan yang ia gagas merupakan akumulasi dari pendahulunya yaitu; Satre, Che Guevara, Althusser, Ortega Y Gasset, Martin Luther King Jr, Eric Fromm dan lain-lain. (lihat: Pendidikan Popular - Membangun Kesadaran Kritis, terbitan Read Book dan Insist, 2001)

Dalam pandangan Freire, yang dimaksud kau tertindas tidak hanya terbatas pada penindasan kekuasaan melainkan juga penindasan yang lain seperti penidasan oleh rezim otoriter, penidasan oleh struktur sosial yang diskriminatif, dan sebagainya. Mereka yang tertindas adalah mereka mengalami keterasingan (alienasi) diri dan lingkungan, sehingga tidak mampu memegang peran sebagai subyek yang independen (otonom). Orang dalam penindasan seperti ini hanya mampu menjadi epigon (pengekor) atas diri orang lain. Kemudian mereka juga merasa bodoh, tak mengetahui apa-apa dan pada gilirannya akan mengalami self depreciation. Dua karakter inilah yang menjadi parameter bahwa orang berada dalam kondisi tertindas.

Pendidikan pada hakekatnya menurut Freire, adalah upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Sedangkan proses pendidikan kita masih jauh dari konsep Freire, pendidikan kita tak lebih merupakan proses dehumanisasi. Pandangan Freire ini telah banyak dibahas dalam berbagai diskursus tentang pendidikan, juga dalam konteks Indonesia. Kembali pada konteks pelanggaran pelaksanaan UN. Saya melihat bahwa ketentuan nilai standar kelulusan UN Tahun 2008, yang dinaikkan dari 4,5 menjadi 5,0 dengan nilai rata-rata syarat kelulusan tidak boleh kurang dari 4,25 secara tidak langsung telah menimbulkan penindasan padapeserta.

Namun demikian bukan berarti saya tidak setuju dengan peningkatan kualitas pendidikan. Permasalahannya kemudian adalah, bahwa pemerintah telah melahirkan penindasan dengan kebijaksan mentargetkan jumlah lulusan yang harus dicapai mnecapai 90 prosen, Sekalipun pernyataan Wapres ini sempat diralat, namun penindasan terlanjur terjadi dan ini sangat dirasakan.

Tengoklah berbagai kasus pelanggaran pelaksanaan UN yang ditemukan kemarin, seluruhnya terjadi karena pihak sekolah tidak ingin dianggap gagal dalam mendidik siswanya, guru tidak siap menanggung kenyataan jika ada siswanya yang gagal UN. Dan siswa juga tidak kesatria untuk mengakui bahwa ia tidak memliki kemampuan atau kompetensi, akibat selama ini tidak pernah serius dalam mengikuti proses belajar mengajar.

Mereka lebih sibuk bermain dengan khayalan yang saban hari disajikan melalui tayangan sinetron di televisi. Alih-alih tercipta manusia yang menganut ideologi serba instant. Pun demikian dalam meraih kelulusan, mereka ingin menempuh jalan instan dengan mencontek atau mencari bocoran kunci jawaban. *) Teguh Trianton, Penyair dan Guru SMK Widya Manggala Purbalingga.


Mendidik adalah membangun peradaban masa depan

Paling tidak setiap sekolah memiliki langganan beberapa koran nasional dan koran daerah. Dengan ketersediaan yang relatif banyak maka tidak ada alasan bagi guru dan siswa untuk tidak bisa membaca koran karena harus berebutan.

Bagi sekolah yang sudah tersambung dengan internet, budaya membaca koran bisa semakin ditingkatkan. Saat ini beberapa koran daerah maupun nasional telah menyediakan edisi online di samping edisi cetak. Misalnya “Pikiran rakyat” memiliki edisi online dengan alamat http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui internet, guru dan siswa bisa mengakses seluruh berita dan tulisan yang disajikan termasuk koran yang berasal dari daerah lain atau juga dari luar negeri.

Terakhir, yang paling penting dalam rangka mendorong budaya membaca koran adalah budaya menulis. Kemampuan menulis di koran tidak akan muncul tanpa diawali budaya membaca. “PR” termasuk pelopor dalam mendorong budaya ini. Lihat saja kolom “Forum Guru” yang disediakan khusus untuk tulisan para guru. Siswa SMP/SMU rubrik “belia” disediakan untuk menampung tulisan dan kreativitas mereka. Tak ketinggalan anak TK/SD memiliki “Pe Er Kecil”. Semakin sering guru dan siswa menulis di koran, maka budaya membaca koran pun akan semakin meningkat, paling tidak ingin mengetahui apakah tulisannya dimuat atau tidak.

Gerakan baca koran ini perlu terus digalakkan dengan upaya bahu membahu berbagai kalangan termasuk para guru yang bergerak di dunia pendidikan.