
Hardiknas dan Mitos Matinya Pendidikan
Ujian Nasional tahun pemelajaran 2007/2008 tingkat SMA/MA/SMK dan yang sederajat telah dilaksanakan serentak pada tanggal 22-24 April 2008 kemarin. Berbagai kecurangan selama pelaksanaan kembali ditemukan, mulai dari dugaan bocornya kunci jawaban yang beredar melalui pesan singkat (short message service/SMS), pelanggaran POS UN oleh panitia, hingga kecurangan yang dilakukan oknum kepala sekolah dan guru yang dengan sengaja memperbaiki jawaban peserta, sebelum LJK disetor ke dinas pendidikan.
Temuan kecurangan ini merupakan aib sekaligus dosa dunia pendidikan di
Mengingat lembaga baru ini ternyata juga mendapatkan hambatan di lapangan. Bukan hanya dalam masalah SDM yang sangat minim, jauh berat dari itu BSNP harus menghadapi gurita raksasa yang bernama kompromi untuk melakukan dosa berjamaah yang dilakukan oknum guru, penyelenggara pendididikan dan peserta didik. Dalam hemat saya, bentuk kompromi semacam ini tidak saja melahirkan aib dan dosa besar dunia pendidikan, namun lebih dari itu kompromi ini dengan sendirinya membunuh (mematikan) hakekat pendidikan.
Jika dibiarkan kompromi ini akan jadi bahaya laten yang terus mengancam kredibilitas pendidikan kita. Gilirannya kemudian mengancam kredibilitas bangsa
Mitos Bangsa
Selain diperingati dengan acara seremonial seperti upacara bendera, momentum Hardiknas juga diisi dengan kegiatan diskusi serta refleksi dunia pendidikan kita. Beragam hujatan baik dalam bentuk diskursus maupun liputan khusus dan berita tentang terpuruknya dunia pendidikan selalu menghiasi halaman media cetak. Saya yakin ini bukan kebetulan, lantara pada kenyataanya dunia pendidikan kita memang terpuruk. Yang menarik adalah tatkala momentum Hardiknas di
Dalam hemat saya, ini menjadi menarik lantaran dua momen berbeda tersebut, jika kita hubungkan seperti memiliki pertalian erat. Tanggal 2 Mei selalu kita peringati sebagai Hardiknas yaitu moment kebangkitan dunia pendidikan di
Dalam konteks dunia pendidikan kita, meski angka tahun dua peristiwa besar itu terpaut sangat jauh (hampir setengah abad lebih), namun realitas pendidikan di
Lantaran menurut Umar Yunus (1981) Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Sehingga ia kerap dijumpai dalam masyarakat, setidaknya mitos selalu hidup dalam gosip, dan boleh jadi (akan) dibuktikan dalam kenyataan. Benar ungkapan dan anggapan Yunus, bahwa kita hidup dalam mitos, yang selalu berubah dari satu mitos ke mitos yang lain. Paulo Freire Pertanyaannya adalah, kenapa harus Paulo Freire yang menggagas konsep pendidikan pembebasan?
Dari konsep-konsep pendidikan yang dituangkan dalam bukunya, Freire terbukti konsisten dengan gagasan pendidikan pembebasan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa pendidikan harus membebaskan, dan tidak memaksakan. Arah politik pendidikan yang sangat kentara berpihak pada kaun tertindas inilah yang mendasari anggapan bahwa konsep pendidikan Freire cocok diterapkan di
Dalam pandangan Freire, yang dimaksud kau tertindas tidak hanya terbatas pada penindasan kekuasaan melainkan juga penindasan yang lain seperti penidasan oleh rezim otoriter, penidasan oleh struktur sosial yang diskriminatif, dan sebagainya. Mereka yang tertindas adalah mereka mengalami keterasingan (alienasi) diri dan lingkungan, sehingga tidak mampu memegang peran sebagai subyek yang independen (otonom). Orang dalam penindasan seperti ini hanya mampu menjadi epigon (pengekor) atas diri orang lain. Kemudian mereka juga merasa bodoh, tak mengetahui apa-apa dan pada gilirannya akan mengalami self depreciation. Dua karakter inilah yang menjadi parameter bahwa orang berada dalam kondisi tertindas.
Pendidikan pada hakekatnya menurut Freire, adalah upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Sedangkan proses pendidikan kita masih jauh dari konsep Freire, pendidikan kita tak lebih merupakan proses dehumanisasi. Pandangan Freire ini telah banyak dibahas dalam berbagai diskursus tentang pendidikan, juga dalam konteks
Namun demikian bukan berarti saya tidak setuju dengan peningkatan kualitas pendidikan. Permasalahannya kemudian adalah, bahwa pemerintah telah melahirkan penindasan dengan kebijaksan mentargetkan jumlah lulusan yang harus dicapai mnecapai 90 prosen, Sekalipun pernyataan Wapres ini sempat diralat, namun penindasan terlanjur terjadi dan ini sangat dirasakan.
Tengoklah berbagai kasus pelanggaran pelaksanaan UN yang ditemukan kemarin, seluruhnya terjadi karena pihak sekolah tidak ingin dianggap gagal dalam mendidik siswanya, guru tidak siap menanggung kenyataan jika ada siswanya yang gagal UN. Dan siswa juga tidak kesatria untuk mengakui bahwa ia tidak memliki kemampuan atau kompetensi, akibat selama ini tidak pernah serius dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Mereka lebih sibuk bermain dengan khayalan yang saban hari disajikan melalui tayangan sinetron di televisi. Alih-alih tercipta manusia yang menganut ideologi serba instant. Pun demikian dalam meraih kelulusan, mereka ingin menempuh jalan instan dengan mencontek atau mencari bocoran kunci jawaban. *) Teguh Trianton, Penyair dan Guru SMK Widya Manggala Purbalingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar